KARAWANG-Sinfonews.com
Kehadiran Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan pada tanggal 30 September 2014 dan diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014 beberapa waktu lalu ini, memberikan implikasi secara yuridis terhadap pengaturan BUMD yang selama ini telah ada di Indonesia.
Menurut Pemerhati Politik dan Pemerintahan Rd Andri Kurniawan mengatakatakn Jika dicermati pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah ini, secara khusus mengatur berkenaan dengan BUMD pada BAB XII terdiri dari 12 Pasal, dimulai dari Pasal 331 sampai dengan Pasal 343 serta tersebar dibeberapa pasal, seperti BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 40, yang memberikan pengertian tentang BUMD, serta beberapa pasal yang menjadi sangat penting dicermati terkait dengan keberadaan BUMD, seperti Pasal 134 ayat (1) huruf c, 188 ayat (1) huruf c, 298 ayat (5) huruf c, 304 ayat (1) dan (2), 320 ayat (2) huruf g, 402 ayat (2), 405 dan Pasal 409.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Pemerintahan Daerah sesuai dengan Pasal 409 dengan tegas menyatakan bahwa: Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); mencabut dan menyatakan tidak berlaku:
Bagi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasalnya dirubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
“Kedua Undang Undang tersebut tersebut menjadi payung hukum keberadaan BUMD di Indonesia, sebelum berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014,” tutur Andri.
Dengan adanya Undang Undang No.23 Tahun 2014, seluruh BUMD yang ada di Indonesia wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang baru tersebut dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang Pemerintahan Daerah tersebut diundangkan.
Selanjutnya kata Andri, akan tetapi dengan masih sangat barunya keberadaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, belum dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan, sehingga masih dapat digunakan/diberlakukan semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, sepanjang tidak bertentang dengan undang-undang baru tersebut (Pasal 405), serta undang-undang mengamanatkan bahwa paling lama 2 (dua) tahun sejak diundangkan, peraturan pelaksanaannya harus sudah ditetapkan (Pasal 410).
Sementara itu, pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 telah memberikan pengertian BUMD secara tegas, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 40 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 memberi pengertian bahwa BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
“Jika mencermati pasal-pasal pada BAB XII, memberikan penegasan-penegasan diantaranya, Pasal 331,” jelas Andri.
Pada Pasal 331, jelas tertera bahwa daerah dapat mendririkan BUMD, yang ditetapkan oleh Perda dimana BUMD tersebut terdiri atas Perumda atau Perseroda. Lalu tambah Andri kalau kita cermati Pasal 331, pendirian BUMD bertujuan memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian Daerah pada umumnya, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik dan potensi Daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik, da memperoleh laba dan/atau keuntungan.
Selanjutnya Pemerhati Politik dan Pemerintahan ini, mengatakan pendirian BUMD perlu didasarkan pada kebutuhan daerah dan kelayakan BUMD terbentuk. Itupun diatur lagi dalam Peraturan Pemerintah
Dalam hal ini pendirian BUMD bukanlah suatu keharusan, akan tetapi menjadi pertimbangan bagi daerah sebagai sarana dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kebutuhan Daerah dikaji melalui studi yang mencakup aspek pelayanan umum dan kebutuhan masyarakat di antaranya air minum, pasar, transportasi, sedangkan kelayakan bidang usaha BUMD dikaji melalui analisis terhadap kelayakan ekonomi, analisis pasar dan pemasaran dan analisis kelayakan keuangan serta analisis aspek lainnya. Nampaknya pembentuk undang-undang, telah memberikan kriteria usaha BUMD berkaitan dengan sifat pelayanan umum, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum Pasal 331 ayat (5) huruf a, yaitu air minum, pasar dan transportasi umum di daerah.
Pasal tersebut di atas juga telah mempertegas jenis dan bentuk hukum BUMD, yaitu perusahaan umum daerah (PERUMDA) dan perusahaan perseroan daerah (PERSERODA).
Ketika disinggung perbedaan Perumda dan Perseroda, Andri Kurniawan menjelaskan bahwa Perumda sebagaimana secara khusus diatur pada Pasal 334 sampai dengan Pasal 338, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Permodalan. 2. Organ perusahaan umum Daerah terdiri atas kepala daerah selaku wakil Daerah sebagai pemilik modal, direksi dan dewan pengawas. Sedangkan Perseroda, juga mendapatkan porsi pengaturan khusus sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 339 sampai dengan Pasal 342, adapun cirri-cirinya sebagai berikut: 1. Perusahaan Perseroan Daerah adalah BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh satu Daerah. setelah pendiriannya ditetapkan dengan Perda, selanjutnya pembentukan badan hukumnya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas. 2. Modal Perseroda terdiri dari saham-saham, dalam hal pemegang saham perusahaan perseroan daerah terdiri atas beberapa daerah dan bukan daerah, salah satu daerah merupakan pemegang saham mayoritas. 3. Organ perusahaan perseroan daerah terdiri atas rapat umum pemegang saham, direksi, dan komisaris, 4. Perseroda dapat membentuk anak perusahaan dan/atau memiliki saham pada perusahaan lain. Pembentukan anak perusahaan didasarkan atas analisa kelayakan investasi oleh analis investasi yang profesional dan independen.
“Sementara bahwa sumber modal BUMD menurut pada Pasal 332 terdiri atas: penyertaan modal Daerah; pinjaman; hibah; dan sumber modal lainnya itupun diatur dengan Perda, lihat deh..pasal 333,” ungkpanya.
Terkait dengan barang milik daerah yang disertakan, harus dinilai sesuai nilai riil pada saat barang milik daerah tersebut akan dijadikan pernyertaan modal. Nilai riil tersebut diperoleh dengan melakukan penafsiran harga barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ( Ryaska )