Pewarta : RUDI ‘BOY’ RUSYANA | Editor : RYAN S KAHMAN
“Seminar Diaspora Penyintas Perlawanan Sukamanah : Melacak Jejaring Santri KH Zainal Musthafa yang digelar Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PWNU Jawa Barat dan Pemkab Purwakarta di Bale Paseban”
PURWAKARTA | MIKIHIRO Moriyama seorang Guru Besar Studi Indonesia Nanzan University, Nagoya, Jepang dalam pengantar buku Ajengan Sukamanah menulis, sejarah itu selalu hidup, terus-menerus berubah. Penulisan adalah suatu representasi pemahaman dengan interpretasi peneliti dan penulis.
Menurut Mikihiro, penulis buku Ajengan Sukamanah atau Biografi KH. Zainal Musthafa Asy Syahid, Iip D. Yahya adalah penulis sejarah yang handal. Kang Iip juga membuktikan bahwa sejarah itu dinamis dan berubah dengan penemuan baru dalam buku yang ditulisnya.
Hal itu terungkap pada Seminar Diaspora Penyintas Perlawanan Sukamanah : Melacak Jejaring Santri KH Zainal Musthafa yang digelar Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PWNU Jawa Barat dan Pemkab Purwakarta di Bale Paseban, Sabtu 25 Februari 2023.
Dalam buku yang ditulis Direktur Media Center PWNU Jawa Barat itu ditulis, perlawanan Ajengan Sukamanah, KH Zainal Musthafa, di Tasikmalaya pada tahun 1944, disebut sebagai pemberontakan sipil terbesar dalam sejarah militer Jepang di tanah Jawa. Hal itu memang diakui sendiri oleh Kenpeitai, polisi militer Jepang, yang berhadapan dengan KH Zainal Musthafa beserta ribuan pengikutnya yang terjadi pada Jumat, 18 Feburari 1944.
Pengakuan itu disampaikan Keinpetai melalu sebuah dokumen yang diterbitkan dalam buku The Keinpeitai in Java and Sumatra (2010), karya S Barbara Gifford Shimer dan Guy Hobbs. Buku tersebut kemudian dikutip Kang Iip.
Sementara, Pimpinan Pondok Pesantren Raudlatut Tarbiyyah Liunggunung, Plered, Purwakarta, KH. Ahmad Anwar Nasihin yang menjadi salahsatu narasumber dalam seminar tersebut mengungkapkan, awalnya, Ajengan Sukamanah ini menentang sejumlah kebijakan kolonial Jepang yang merugikan dan menindas rakyat Indonesia. Kebijakan pertama adalah soal upeti padi yang membebani rakyat.
“Apalagi saat itu kondisi sedang paceklik hingga membuat rakyat kesulitan. Kebijakan kedua yang ditentang KH Zainal Musthafa adalah kerja paksa (romusha). Jepang sudah mengirimkan tenaga kerja paksa ke seluruh wilayah di Indonesia dan Asia sejak Oktober 1943,” ujar Kang Anwar, seraya mengatakan bahwa sang kakek yaitu KH. Didi Izuddin, merupakan santri Ajengan Sukamanah.