KARAWANG, Sinfonews.com
Bentang Karawang Selatan yang unik ini telah menjadi daya tarik sendiri bagi para investor yang melihatnya dari kacamata ekonomi. Namun sayang para investor ini merasa diuntungkan dengan keberadaan pemerintahan kabupaten (pemkab) yang hanya mengambil untung dan kepentingan pribadi beserta kelompoknya dibandingkan mensejahterakan masyarakatnya. Masyarakat Karawang Selatan dianugerahi sumber daya alam yang luar biasa potensinya, tapi sumber daya alam yang luar biasa potensinya itu, saat ini belum bisa mensejahterakan masyarakatnya. Hal ini dikarenakan banyak para investor yang menabrak peraturan-peraturan di negara ini dan pemkab yang terlalu sibuk menjadikan peraturan sebagai daya menaikan harga tawar kepada para investor yang mencari untung sendiri. Maka perlu rasanya untuk mengkaji sejauh mana dan peraturan mana saja yang sudah diabaikan oleh para investor dan pemangku kewenangan.
PT. Atlasindo Utama memiliki WUP di Gn. Sirnalanggeng (334 Mdpl) Desa Cintalanggeng Kecamatan Tegalwaru. Kegiatan pertambangan PT. Atlasindo Utama sudah berlangsung dari tahun 2002. PT. Atlasindo Utama mendapatkan hak WUP di Gn. Sirnalanggeng yang sebelumnya adalah tanah negara yang di kelola oleh BUMN Perhutani dengan cara Ruistlag. 20 hektar luas Gn. Sirnalanggeng diganti dengan 40 hektar areal ruistlag yang berada di Kabupaten Purwakarta. Terkait Ruistlag ini ada beberapa versi yang berkembang, seperti 20 Ha Gn.Sirnalanggeng diganti dengan lahan 40 Ha di Kab. Purwakarta sampai dengan adanya sewa-menyewa lahan antara PT. Atlasindo Utama dengan Perhutani seperti yang ditemukan dalam UKL UPL PT. Atlasindo Utama yang terbit tahun 2002 sebelum adanya AMDAL.
Terkait dengan hal tersebut diatas, Pengamat Politik dan Pemerintahan Rd. Andri Kurniawan mengatakan soal perizinan PT. Atlasindo patut dipertanyakan, pasalnya semenjak 2014 yang lalu, perijinan soal pertambangan sepenuhnya dilimpahkan, dari Pemerintah Kabupaten/Kota ke Pemerintah Provinsi (Pemprov).
“Terdengar lagi kabar, bahwa PT.Atlasindo tengah membangun bangunan baru dan adanya Site Plan/Rencana Tapak yang baru,” Ungkap Rd. Andri Kurniawan, Jumat, 28/07-2017
Pengamat Politik dan Pemerintahan ini menerangkan bahwa Site Plan adalah gambar dua dimensi yang menunjukan detail dari rencana yang akan dilakukan terhadap kaveling tanah, baik menyangkut rencana jalan, utilitas air bersih, listrik dan air kotor, fasilitas umum dan fasilitas sosial.
“Dengan adanya penambahan site plane, sudah tentu ada perubahan dalam perijinan, dan IMB, bersamaan dengan pengajuan IMB, harus mengurus perubahan Site Plan,” Jelas Andri
Menurut Andri dalam UU No.4 Tahun 2009, dalam mengurus perijinan tambang, kebijakan yang dilakukan Pemerintah Pusat memiliki kapasitas berupa tanggung jawab mengatur Penetepan kebijakan dan pengaturan, Penerapan Standard dan Pedoman, Penetapan Kriteria pembagian Urusan Pusat dan Daerah, Tanggung jawab pengelolaan Minerba berdampak nasional dan Lintas Provinsi.
Sementara itu terang Andri untuk Kewenangan Provinsi bertanggung jawab pengelolaan lintas kabupaten yang berdampak regional. Dan untuk Kewenangan Kabupaten berfungsi untuk pengelolaan di wilayah kabupaten Kota.
“Dalam Hal ini kewenangan Kabupaten/Kota masiH cukup kuat dalam pengelolaan dan kebijakan Sumber Daya Alam,” terang Pengamat Politik dan Pemerintahan di Kabupaten Karawang ini.
Ketika disinggung keluarnya Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, apa kewenangan Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam, Rd. Andri menjelaskan, Undang Undang No. 23 /Tahun 2014 memiliki pandangan dan semangat penyelenggaran kewenangan pemerintahan terkait pengelolaan SDA, yang didalam nya termasuk di bidang pertambangan Minerba.
“Namun dengan keluarnya UU No.23 Tahun 2014, kewenangan dan kebijakan Kabupaten/Kota dialihkan ke Propinsi (Dati I ) dan Pemerintah Pusat,” Jelas Rd. Andri
Lebih jauh Pengamat Politik dan Pemerintahan ini menjelaskan tanpa mengurangi komunikasi dengan Kabupaten Kota yang selama ini dilakukan, untuk proses peralihan ini, komunikasi intens perlu dilakukan dengan Minerba (Mineral dan Batubara) yang bertindak sebagai penengah dan pemberi solusi dengan peralihan tersebut.
Sementara itu, Posisi Ditjen Minerba dalam menghadapi kewenengan di pemerintahan memposisikan diri sebagai berikut: Bupati/Walikota tidak lagi memproses penerbitan izin baru yang permohonannya diajukan setelah tanggal 2 Oktober 2014 Permohonan yang diajukan sebelum tanggal 2 Oktober 2014 kepada bupati/walikota tetap diproses penerbitannya oleh bupati/walikota sampai terbitnya Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria oleh Menteri ESDM atau berkasnya dapat disampaikan kepada gubernur untuk diterbitkan IUP-nya.Permohonan IUP (Permohonan WIUP dan IUP) baru, permohonan perpanjangan IUP OP setelah tanggal 2 Oktober 2014 untuk batuan, mineral bukan logam, diterbitkan oleh gubernur atas pertimbangan teknis dari bupati/walikota. Pelaksanaan binwas kegiatan usaha pertambangan tetap dapat dilaksanakan oleh dinas teknis kabupaten/kota berkoordinasi dengan dinas teknis Provinsi.
Permohonan perubahan status IUP dari PMDN menjadi PMA yang sudah diajukan kepada Bupati/Walikota tetapi belum diberikan rekomendasi, dapat diajukan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara.
“Jika dengan munculnya UU No. 23 Tahun 2014 tersebut, tidak menutup kemungkinan PT. Atlasindo menyalahi aturan dalam pengeurusan perijinan. Ini kita patut pertanyakan,” pungkas Rd. Andri (RyaSKa)