KOTA BANDUNG – SinfoNews.com
Fase sejarah kehidupan bangsa tidak boleh dijadikan alat konflik. Aspek rekonsiliatif dan konsolidatif harus lebih dikedepankan demi kepentingan bangsa dan negara.
Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf Jawa Barat mengajak publik Jabar untuk merefleksi peristiwa sejarah kebangsaan. Salah satunya yakni melalui kegiatan nonton bareng Film G 30S/PKI.
Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf Jawa Barat Dedi Mulyadi mengatakan kegiatan tersebut akan digelar pada 29 dan 30 September 2018. Tepatnya, di halaman Kantor DPD Golkar Jabar, Jalan Maskumambang No 02, Kota Bandung. Ribuan massa yang terdiri dari tim, relawan dan simpatisan dipastikan hadir.
“Kegiatan ini memiliki urgensi yang sangat jelas. Tidak boleh ada lagi tuduhan antek PKI terhadap capres/cawapres. Lalu, kubu ini menuduh bahwa kubu itu fundamentalis. Itu tidak boleh ada lagi,” kata Dedi di Kantor DPD Golkar Jabar, Selasa (25/9/2018).
Tuduhan soal keberpihakan ideologi ‘kanan’ dan ‘kiri’ menurut Dedi sangat tidak mendidik calon pemilih. Dia mengajak semua pihak untuk lebih mempertajam visi dan misi menuju tatanan program teknis. Cara ini kata Dedi, lebih beradab dibandingkan saling menebar tuduhan.
“Pak Prabowo pernah mencalonkan Jokowi-Ahok di Pilkada Jakarta. Kok, saat itu tidak ada isu komunis?. Pak Prabowo dan Ibu Megawati pun pernah bareng di Pilpres 2009, tidak ada isu komunis. Masyarakat harus diberikan pendidikan politik, bukan ditakut-takuti,” katanya.
Sebagai anak pensiunan tentara, Dedi menegaskan bahwa fase sejarah kehidupan bangsa tidak boleh dijadikan alat konflik. Aspek rekonsiliatif dan konsolidatif harus lebih dikedepankan demi kepentingan bangsa dan negara.
“Negara kita punya sejarah, ada sejarah gemilang ada juga sejarah kelam. Nah, sejarah kelam itu jangan sampai terulang lagi. Film G 30S/PKI itu hanya refleksi sejarah, hanya pengingat masa lalu,” ujarnya.
Membuat Film Baru
Film yang digarap di era Presiden Soeharto itu menurut Dedi harus dihargai sebagai karya seni. Karena itu, perdebatan terhadap kekurangan dalam sebuah karya seni tidak akan pernah menemui kesimpulan. Alih-alih menarik pelajaran, anak bangsa justru akan dipaksa berada dalam pusaran perdebatan.
“Kalau tidak setuju dengan salah satu atau beberapa bagian dari film itu, ya tinggal buat film baru. Karya seni dijawab dengan karya seni sebagaimana karya ilmiah dijawab karya ilmiah. Imam Ghazali dan Ibnu Rusyd kan berpantun ria melalui masing-masing bukunya,” tuturnya.
Mantan Bupati Purwakarta dua periode itu juga menegaskan banyak cara untuk menghadirkan pendidikan ke tengah masyarakat. Para pendiri bangsa misalnya, mendidik masyarakat melalui berbagai tulisan sekaligus program pembangunan.
“Lihat bagaimana pendiri bangsa kita berdialog. Mereka membuat tulisan, dibalas tulisan lagi. Mereka melontarkan gagasan, dibalas gagasan lagi. Kita hari ini malah saling berbalas nyinyiran,” katanya.
Laporan : RoedSinfo