Kisah kehadiran beduk itu sendiri di jagat nusantara terbagi dalam sejumlah versi. Salah satunya adalah versi beduk yang saat ini dikenal luas awalnya merupakan pemberian Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok saat masuk ke Nusantara melalui Semarang pada abad 15.
Versi lain dari awal populernya beduk di tanah nusantara adalah berkat ide dari kejeniusan Sunan Kalijaga, yang mengakulturasi beduk sebagai produk budaya dari India dan Cina itu untuk digunakan memanggil orang untuk salat.
Saat itu, jika panggilan waktu salat hanya mengandalkan suara azan maka jangkauan suaranya kurang terdengar secara lebih luas, karena meski ada masjid di Abad 15 namun teknologi pengeras suara belum ada.
“Beduk menjadi pilihan yang sangat cerdas sekaligus berseni tinggi. Tradisi yang diwariskan dari Kanjeng Sunan Kaijaga itu sudah seharusnya kita rawat dan kita jaga dengan baik. Ini harus jadi tanggungjawab kita bersama. Pemkab Purwakarta mencoba ikut membantu mefasilitasinya lewat festival ini,” kaa Anne.
Menurut Bupati Anne, dengan melestarikan beduk, maka kita juga memberikan penghormatan kepada Sunan Kalijaga. Terlebih proklamator dan pendiri bangsa ini berhubungan erat dengan salah satu wali songo yang dikenal sangat menguasai ilmu seni yang sangat tinggi tersebut.
“Banyak pihak yang menjelaskan bahwa Sunan Kalijaga juga merupakan leluhur dari Ayahandanya Bung Karno. Jadi bagaimana tidak luar biasa sosok Bung Karno ini, ayahandanya masih keturunan Sunan Giri dan Ibunya keturunan Sunan Kalijaga,” katanya
Sehingga lanjut Bupati Anne, melestarikan beduk ini memiliki makna yang sangat mendalam. Bagaimana kita sebagai Bangsa Indonesia sangat mengapresiasi orang-orang yang berjasa terhadap Nusantara.